Laman

Jumat, 01 April 2011

Keterasingan

Keterasingan berasal dari kata terasing,  asing berarti sendiri,  sehingga tersisihkan dari pergaulan, terpisahkan dari yang lain, atau terpencil. Jadi kata terasing berarti hal-hal yang berkenaan dengan tersisihkan dari pegaulan, terpencil atau terpisah dari yang lain. Keterasingan adalah bagian hidup manusia,  sebentar atau lama, orang pernah mengalami nya.
Seorang anak yang kira-kira berumur sepuluh tahun ketika pulang ke rumah sehabis bermain menangis-nangis. Ketika ditanya kenapa menangis, dia tidak langsung menjawab, karena ketika dia mau  berbicara   malah yang  terdengar hanya suara tangisnya lagi. Setelah tangisnya reda baru anak itu bisa bicara dan menceritakan,  teman-temannya dalam  tidak mau menemaninya bermain bahkan mengasingkannya.
Ketika rasulullah dan sahabat beliau menyiarkan islam pada masa  awal perkembangan  juga diasingkan oleh kaum Quraisy dengan maksud  agar islam tidak berkembang. Bahkan dengan sebuah perjanjian yang isinya “apabila tulisan perjanjian itu hancur maka selesailah pengasingan itu” yang mereka letakkan di dalam ka’bah. Menurut logika tulisan itu tidak akan hancur hanya dalam tempo yang singkat, mungkin sampai puluhan tahun. Tapi ternyata kehendak Allah lain, antara 2-3 tahun  ternyata perjanjian itu telah rusak, maka bebaslah rasulullah dari pengasingan /blockade itu (disini ada rahasia yang ingin diajarkan Allah kepada rasulullah, mudah-mudahan nanti bisa dituliskan).    Ini juga dinamakan keterasingan atau diasingkan, walaupun dengan model yang lain.
Kadang-kadang yang sudah dewasa juga sering merasakan keterasingan atau diasingkan oleh kawan-kawan kita . Ada dengan alasan dia sering menyakiti hati orang, ada dengan alasan tidak sependapat, ada dengan alasan persaingan, ada dengan alasan tidak satu level, dan alasan-alasan lainnya.
Bahkan kita sendiri  sering merasakan, walau kawan-kawan,  baik dari segi prilaku ataupun kata-kata tidak pernah mengasingkan  kita tapi kita merasa terasing.  Berkumpul dengan orang banyak, berpesta, bermain-main, waktu bekerja tetapi terasa ada keterasingan.
Kalau kita tanyakan lebih jauh, apa yang menyebabkan munculnya rasa keterasingan ini ?  Setelah  ditelusuri lebih jauh rasa keterasingan itu ternyata disebabkan oleh adanya sesuatu dimana kita tidak bisa menerima kondisi itu atau belum tercapai  keinginan sehingga mendatangkan kekecewaan.  Pelampiasan dari kekecewaan ini bermacam-macam, ada yang marah, ada yang menangis, ada yang dendam, ada yang benci, ada yang menjauhi, ada yang melawan, ada yang minta bantuan. Itulah cermin keterasingan yang diikuti munculnya kesepian, kekecewaan yang diakibat oleh tidak terima kondisi saat itu atau keinginan yang tidak tercapai.
Kekecewaan dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti ditimbulkan  karena merasa dirinya dirugikan, lahir maupun batin. Hal ini adalah lumrah bagi manusia karena manusia mempunyai ego/aku. Si aku,  seringkali juga meluas sifatnya menjadi si kami, keluargaku, golonganku, bangsaku, partaiku, sahabatku.Nampak sekali pada kehidupan kita di Indonesia pada saat ini baik bidang sosial, agama, ekonoi, politik dan sebagainya  yang merupakan cermin keterasingan, kekecewaan yang melahirkan kerusuhan. Semuanya itu disebabkan oleh si ego yang selalu ingin senang, oleh karena itu kalau dia tidak dibikin senang, dan bahagia  kecewalah dia.
Sekarang kita coba untuk mengajukan pertanyaan lagi, apakah keterasingan, yang mendatangkan kekecewaan itu bisa kita atasi ?. Ada sebuah ungkapan “ramai dalam kesendirian dan sendiri dalam keramaian”.  Kalimat ini berarti mempunyai makna, sendiri atau dengan orang tetap dalam keadaan ramai, tidak sunyi, tidak sepi, tidak kecewa, bahkan bisa sebaliknya yaitu ramai, gembira,  damai, bahagia, tenang walaupun diasingkan atau mengasingkan diri.
Memang demikianlah keadaan hidup kita manusia ini. Kesenangan, keindahan dan kebaha­giaan itu sebenarnya SUDAH ADA di manapun dan kapanpun. Akan tetapi kesenangan, keindahan itu tidak nampak dan kebahagiaan itu tidak terasa oleh kita apabila batin kita penuh dengan masalah-masalah kehidupan, penuh dengan pertentangan, kekhawatiran, ke­putusasaan, kemarahan, kebencian, yang kesemuanya itu mendatangkan duka atau kecewa. Je­laslah bahwa kesenangan,keindahan, ketenangan dan kebahagiaan itu tidak dapat dicari DILUAR DIRI KITA, karena sumber dari segalanya berada di dalam diri kita sendiri. Kalau batin kita sudah bebas dari segala pam­rih, bebas dari segala macam keinginan untuk memperoleh hal-hal yang tidak ada. Sering sekali kita mencari yang tidak ada, contoh, ketika perut kita lapar kemudian membuka lemari, terlihat jenis makanan yang akan kita makan, hati kemudian bicara makanan ini terus yang disajikan terasalah sudah kekecewaan, kalau kita makan, makanpun  menjadi tidak nikmat. Apabila kita menikmati yang ada, ma­ka akan nampaklah dan terasalah segala kenikmatan, ketenangan, kesenangan,  keindahan yang terbentang di hadapan kita, di ma­napun dan bilamanapun! Hal-hal seperti ini tidak mungkin dapat dimengerti  kalau hanya dibicarakan sebagai teori hampa belaka, melainkan harus dihayati di dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri.
Karena kita  sebagai manusia, maka hal yang lumrah juga apabila kita merasa kecewa,  lalu bagaimana cara mengatasi kekecewaan, padahal tidak bisa kita tolak. Jalan keluarnya hendaklah kamu jangan masuk pada lingkaran kekecewaan itu, keluarlah,  bagaimana cara keluarnya ?. 
 Melakukan tindakan apa pun juga untuk melenyapkan kekecewaan tidak akan berhasil membebaskan diri daripada kekecewaan. Kekecewaan tidak dapat dile­nyapkan oleh daya upaya. Kekecewaan adalah si aku itu sendiri, satu di antara sifat si aku yang selalu ingin senang, maka kalau kesenangannya terganggu, tentu kecewa. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah mengenal aku, mengenal  kekecewaan, mengerti kekecewaan  dan hal ini hanya dapat terjadi apabila kita mau menghadapi kekecewaan  tanpa ingin meng­ubah, tanpa ingin menekan atau me­lenyapkan! Kalau kekecewaan  datang,  kalau kita merasa tidak senang lalu kecewa, kita menghadapi kekecewaan itu seperti kenyataannya, kita  memandang dan meng­amati saja penuh perhatian, penuh ke­waspadaan tanpa pamrih apa-apa, tanpa ingin menguasai menekan atau melenyap­kan. Kalau kita memandang dan meng­amati dengan penuh perhatian tanpa perasaan atau keinginan apa-apa, berarti kita sadar waspada, maka semua akan nampak terang dan kekecewaan  akan mus­nah tanpa kita hilangkan atau tekan.  Artinya kita hanya mengawasi, mengamati  keadaan diri kita, kita sadar kita sedang kecewa. Karena seorang pengawas  atau pengamat adalah seorang yang bisa objektif tanpa harus masuk pada kekecewaan itu. Kalau tidak masuk berarti tidak terikat, kalau tidak terikat berarti bebas, kalau bebas berarti merdeka. Merdeka dari keterasingan, merdeka dari kekecewaan  lalu katakanlah “Aku Merdeka”.
Karena itu belajar dan berlatihlah dalam kehidupan keseharian kita supaya jangan hanya sampai pada pegetahuan tapi sampai pada perasaan tentunya perasaan yang halus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar