Laman

Kamis, 28 April 2011

Subyektivitas dan Obyektivitas (2)

Bagi seorang guru apabila membuat soal dalam bentuk pilihan ganda atau jawabannya sudah ada, maka soal tersebut dikatakan soal dalam bentuk obyektif. Kenapa demikian, karena siapapun yang mengoreksinya, menilainya dengan standar penilaian yang sama maka akan mendatangkan hasil nilai yang sama. Sedangkan apabila soal itu dibuat dalam bentuk uraian,  belum ada jawabannya maka disebut soal dalam bentuk subyektif. Mengapa, karena apabila terjadi koreksi atau penilaian terhadap jawaban tersebut oleh beberapa orang penilai walaupun dengan standar penilaian yang sama, maka hasil nilainya nanti tidak akan sama. Kenapa tidak sama, karena adanya faktor subyektivitas yang ada pada penilai, bisa karena pengetahuan yang berbeda, bisa karena kepentingan yang berbeda atau bisa juga karena suka dan tidak suka yang berbeda.

2. Jangan melihat atau memandang siapa yang berkata tapi pandang dan lihat apa yang dikatakannya.

Kita perluas dulu ruang lingkup dari kalimat tersebut diatas, memandang atau melihat  bukan saja dari sisi perkataan tapi dari semua aspek kehidupan. Memandang atau mendengar apa yang dikatakan orang tanpa melihat siapa mengatakan adalah usaha untuk bersikap secara obyektif, jujur, adil, menghargai, demokratis. Pengaruh yang ditimbulkan bukan saja pada diri kita tapi juga pada orang yang menyatakan itu. Apakah pengaruh itu ? diantaranya adalah kesalah pahaman dari pemikiran orang itu bisa diminimalisir. Sedangkan bagi kita yang mendengarkan, akan mengembangkan keluasan pikiran, ketenangan, tidak terburu-buru, sehingga akan memunculkan kecerdasan kita, cerdas dalam bersikap.
Kita tidak akan bisa menyatakan sebuah masalah itu subyektif atau obyektif apabila tidak mempunyai pengetahuan yang berkaitan dengan masalah itu.
Sering kita memperlakukan sesuatu hanya melihat siapa yang berkata, tapi tidak melihat apa yang dikatakannya. Kalau  bersikap seperti itu maka akan lebih banyak subyektivitas bersama kita. Yang jadi pertanyaan, kenapa kita sering bersikap seperti itu ? jawabannya adalah ketidaktahuan dan kepentingan diri.  Seseorang yang bersikap subyektivitas terhadap sebuah masalah karena ketidaktahuannya dan kepentingan diri ketika ditanyakan, dia bilang suka, senang, memihak pada mereka, menguntungkan. Bila sudah demikian bagaimana kita bisa melihatnya secara obyektif. Itu adalah dari sisi positif dan ketika ditanyakan negatifnya maka akan keluar perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan bahkan lebih panjang dan lebar pembahasannya.
Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan, agar bisa bersikap obyektif, yaitu :
  1. Perkataan benar,  penampilan baik
  2. Perkataan benar,  penampilan sederhana
  3. Perkataan tidak benar,  penampilan baik
  4. Perkataan tidak benar, penampilan sederhana
Nomor 1 dan  2 adalah sebuah patokan yang bisa kita pakai atau lakukan agar bisa obyektif. Sedangkan untuk nomor 3 dan 4 apabila kita pakai dan lakukan maka akan masuk pada perangkap subyektivitas, yaitu kebodohan dan kepentingan diri.

Subyektivitas dan Obyektivitas (1)

Setiap hari dan setiap saat kita akan bertemu dan berhadapan dengan keduanya, yaitu subyektivitas dan Obyektivitas. Apakah itu subyektivitas, adalah adanya rasa keakuan kita dalam melihat,memandang, melakukan sesuatu, sehingga kadang-kadang obyektivitas dilupakan. Lalu apa pula yang dinamakan obyektivitas, adalah melihat,memandang, dan melakukan sesuatu dengan apa adanya, jujur, sesuai fakta.
Yang jadi pertanyaannya adalah apakah bisa ? dengan adanya subyektivitas itu kita menjadi obyektif,  apakah dengan masuknya keakuan,  kita bisa jujur, adil, dan netral. Sebuah pertanyaan yang sulit sekali untuk diuraikan  karena  harus melihat dulu apa standar dan ukurannya, mari kita coba untuk melihat ukurannya.
  1. Subyektif yang obyektif
Dalam penulisan, perkataan, pembicaraan  apapun kita akan berhadapan dengan istilah ini “subyektif yang obyektif”.
Dalam pernyataan ini saja sudah mengandung sebuah kepastian tidak bisa obyektif seratus persen, obyektif tapi tidak obyektif, jujur tapi tidak jujur, karena adanya subyektivitas. Berarti dalam kehidupan sehari-hari kita sudah tidak bisa menghindari subyektivitas, tidak bisa jujur, dan tidak obyektif. Apabila demikian maka kita bisa dikatakan munafik, pengkhinat, pendusta, ingkar.
Subyektif adalah sisi lain dari kita. Menulis, berpendapat, berbicara adalah sisi subyektif kita. Apalagi setelah ada sanggahan, tanggapan, pertanyaan, kritikan, masukan dari orang lain, maka subyektivitas semakin kuat. Kenapa menjadi semakin kuat, karena kita berusaha meyakinkan, membenarkan yang telah kita kemukakan. Emosi semakin berlebihan, perasaan ingin menang juga semakin kuat. Bahkan subyektivitas itu semakin tidak terkontrol lagi, dan merasa yang punya kitalah yang benar. Akhirnya terperangkap pada subyektivitas, tidak bisa lebih banyak obyektif.
Betapa beratnya kehidupan ini, betapa ruginya manusia, betapa kasihannya manusia, untuk menjadi benar, baik, jujur, adil, dan netral bahkan berkarya untuk memakmurkan bumi Allah ini sekan-akan tidak ada peluang untuk obyektif. Bagi mereka yang biasanya mengambil jalan pintas, daripada tidak ada peluang mending basah sekalian. Hehehehehe….akhirnya mereka berlomba-lomba untuk mengambil kedudukan, jabatan, posisi yang basah-basah sehingga betul-betul basah. Tapi bagi mereka yang mau berpikir, terus mencari jalan dengan menggunakan daya dan kemampuan sampai mereka temukan jalan keluarnya. Karena bagaimanapun juga alam diciptakan oleh Allah tidak hanya satu sisi saja, pasti ada sisi yang lain yang merupakan lawannya. Begitu rumitnya kehidupan manusia, ingin baik saja susah, oh… ternyata ini adalah sebuah tantangan yang diberikan oleh Allah untuk manusia apabila ingin punya derajat yang sangat baik, baik di dunia maupun akhirat. Tantangan tersebut adalah mampukah kita menetralisir nafsu yang diciptakan dengan menggunakan akal kita.
Ternyata letak subyektivitas kita ada pada nafsu, ada pada ego, ada pada keinginan, atau keakuan kita.
Jika kita mengacu pada standar/ukuran “subyektif yang obyektif”. Ternyata dengan adanya subyektif yang obyektif juga member jalan bagi kita untuk masih obyektif. Caranya adalah , fakta-fakta yang ada, yang diangkat menjadi bahan penulisan, perdebatan, pembicaraan. Kita tafsirkan secara keseluruhan, kita bahas melalui berbagai sudut pandang dan keadaan, kita ulas dengan pengetahuan yang dimiliki, tanpa adaya keinginan untuk memihak pada sisi mana yang kita bahas, maka kita sudah obyektif. Tapi apabila kita berusaha untuk memihak pada salah satu sisi saja, maka kita sudah masuk pada subyektivitas.
Apabila nantinya ada sanggahan, kritikan, kontra, kita tanggapi, kita jawab hanya dalam batas alasan-alasan dari fakta yang ada tanpa adanya keinginan untuk dibenarkan, diakui, disetujui, maka kita sudah berjalan pada obyektivitas. Ungkapkan fakta itu apa adanya, silahkan tinjau dari berbagai sudut kepentingan tapi kita tidak perlu ikut dalam berbagai kepentingan itu, maka kita sudah obyektif.
Apabila tekanan subyektif semakin kuat, kalau memang ada kesempatan untuk menenangkannya, istirahatlah, karena hal ini juga akan mengurangi subyektivitas. Apabila sudah tenang silahkan sampaikan lagi tanggapannya, biasanya hasilnya akan memuaskan banyak pihak dan tentunya saja diri sendiri. Berpeganglah pada fakta, tapi janganlah berpegang pada keinginan untuk membenarkan atau dibenarkan pada fakta itu. Karena manusia diberi pengalaman dan sudut pandang yang berbeda-beda,tentu saja banyak penafsiran. Silahkan mereka menafsirkan dengan pengalaman dan kondisi mereka masing-masing.

Minggu, 10 April 2011

Spritualis Antagonis

Kenapa dengan sebutan spritualis antagonis, karena saya teringat dengan nyanyian Ahmad Albar, dengan judul “Panggung Sandiwara”, diantara baitnya berbunyi “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah…”. Kelompok spritualis inilah yang jadi pemeran antagonisnya dalam panggung sandiwara. Betulkah spritualis itu antagonis ?
Mari kita jawab dan telaah bersama  dengan kepala dingin dan hati yang tenang, karena semuanya akan mendatang inspirasi yang bagus . Apalagi kalau menulis, perlu pemikiran yang tenang, karena ketenangan adalah awal  dan didalam kecerdasan. Juga apabila dalam ketenangan  maka pemikiran yang disampaikan juga menjadi lebih obyektif. Tapi walau bagaimanapun juga menulis sesuatu itu kita tidak pernah obyektif seratus persen,  karena di dalam obyektivitas masih ada subyektivitas, begitu juga sebaliknya , di dalam subyetivitas masih ada obyektivitas, karena masih ada keakuannya, silahkan anda menilainya.
Saya ingin memaparkan dulu dari cara mendapatkan ilmu spiritual itu,  dilihat latar belakang belajar, dari siapa dan bagaimana cara dia mendapatkan ilmu tersebut. Karena bagaimanapun juga ilmu, watak, dan cara pandang, wawasan, serta keinginan  dari seorang guru akan sangat berpengaruh pada muridnya.
Dalam hal mendapatkan ilmu spritual ini biasanya ada 3    :
1)     Belajarnya dari tempat-tempat yang umum atau kepada guru-guru yang masyhur, terkenal,     Kalau didengar,
dibaca, tidak mengandung ajaran-ajaran yang menyimpang, berbeda,  sehingga sebagian besar orang bisa menerimanya. Dalam pembelajaran islam biasanya yang dijadikan tempatnya adalah masjid, mushalla, rumah-rumah ibadah, atau tempat-tempat khusus.  Jemaah yang hadir juga tidak terbatas pada kelompok, golongan, tingkatan, dan lain sebagainya,  siapa saja yang ingin belajar  silahkan datang. Mereka yang  belajar atau dididik dari hasil pengajian ini biasanya  dimasyarakat juga punya sikap yang  umum, netral dan juga bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat umum.  Metode pembelajaranpun  hanya satu arah, guru lebih dominan dalam penyampaian, bahkan si murid hanya sebagai pendengar yang baik, ada pertanyaan hanya sedikit, bahkan bisa tidak ada sama sekali. Akibat hanya mendengarkan, pasif,  maka sebagian besar dari muridnya tidak bisa memahaminya secara lebih mendalam dan khusus. Sedangkan ilmu yang khusus diberikan oleh gurunya  memerlukan waktu yang khusus, murid yang khusus yang bisa dipercaya oleh gurunya,  dapat merahasiakan ilmu dan dapat memegang rahasia itu.

2)     Belajar dari guru-guru yang tersembunyi, tidak terkenal, dan tidak masyhur. Bagi kelompok atau individu yang belajar pada tingkatan yang kedua ini produknya sudah mulai berbeda dengan tingkatan pertama.  Kenapa berbeda, karena ilmu, pandangan, cara, wawasan dalam pembelajaran  juga berbeda dengan tingkatan  yang pertama. Dalam  cara belajar saja sangat  nampak perbedaannya.  Kalau pembelajaran  tingkat pertama  biasanya yang lebih dominan adalah para guru/pengajarnya. Bisa dikatakan waktu sepenuhnya diisi oleh guru selama pembelajaran tersebut.  Sedangkan pembelajaran yang kedua,  pembicaraan tidak hanya  satu arah (antara guru dan murid), tapi sudah menjadi multi arah. Guru dan murid bebas mengemukan masalah, pandangan yang ada pada mereka, terjadi diskusi yang sangat menarik, tidak menjemukan, waktu terasa singkat. Dan yang lebih besar didapatkan adalah  si murid menjadi terampil berbicara, terampil berlogika, memahami ilmu yang didapatnya secara mendalam karena pembelajarannya berangkat dari masalah yang dihadapi si murid.
Yang disampaikan juga biasanya tanpa pedoman/buku sebagai sumber pembelajaran, tapi langsung berdasarkan pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan dan pengalaman ini yang mereka ajarkan sehingga menjadi terfokus dan terkonsentrasi. Wajarlah ketika si murid keluar dari padepokan itu menjadi orang yang terampil berbicara dan berlogika dan ketika bertemu dengan murid produk tingkat pertama, terjadi diskusi maka akhirnyayang banyak bicara, berlogika adalah produk padepokan kedua.  Karena dalam pembelajaran sudah dibekali dengan keterampilan berbicara dan berlogika ditambah dengan rasa keyakinan yang mereka miliki hasil dari tempaan tersebut.
Ilmu yang mereka sampaikan juga biasa lebih khusus, tidak  bertele-tele, langsung ke masalah dengan alasan supaya dari sekarang mulai dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Cuma dalam pergaulan  biasanya kelompok ini sering mengkritisi  ajaran, paham, budaya, pandangan, adat dan kegiatan yang umum  di masyarakat, sehingga mereka akhirnya dijauhi , yang membawa mereka membentuk komunitas sendiri.
Seringkali ilmu yang rahasia yang diajarkan oleh guru-guru umum,  pada kelompok yang kedua ini tidak ada rahasia lagi, bahkan sangat dibuka dan terbuka, tidak tersembunyi dan disembunyikan lagi. Tergantung pada  murid saja lagi untuk melatih dan mengamalkan  dari ilmu itu. Itulah sebabnya keika kelompok kedua ini berbicara ditengah umum banyak yang tidak diterima oleh masyarakat. Bawaan bebas, terbuka, tidak tersembunyi, tidak rahasia pada waktu pembelajaran keluar pada pembicaraan dan tingkah laku mereka sehari-hari.
Keluarlah sebutan dari masyarakat umum, sesat, menyimpang, kafir, ilmu syaitan, ilmu dukun, ilmu bathin, tenaga dalam,  dan lain sebagainya, maklum mereka  berkata  demikian karena tidak tahu.

3       Pembelajaran Gabungan, maksudnya  adalah mereka yang belajar dari guru-guru masyhur dan tersembunyi. Biasanya produk gabungan ini sering bersikap dan berada di tengah-tengah, sebagai penetral dari  kedua  kelompok masyarakat yang berbeda komunitas ini. Dia bisa masuk pada kelompok pertama juga bisa masuk pada kelompok kedua. Kenapa bisa masuk karena ilmu yang diajarkan oleh kedua kelompok ini dia dapat dan diketahui, sehingga dapat menyesuaikan diri.

Dari adanya tiga produk cara pembelajaran tersebut, nampaknya yang paling vocal menyuarakan isi hatinya adalahkelompok yang kedua. Dengan cara belajar  tanpa aturan yang berbelit-belit  mereka mendapatkan ilmu spiritual.Mereka ingin mendobrak pemikiran masyarakat umum yang selalu melihat untung dan rugi, atau dari siapa, olehsiapa, dan untuk apa.

Namun kalau ditelusuri lebih jauh lagi,  ketiga   macam pembelajaran spiritual tadi, ternyata juga hanya cara mendapatkannya yang berbeda. Tapi pada dasarnya apabila seseorang sudah masuk penganut spritualis sejati, maka jiwa kebebasannya akan selalu menempel. Mereka tidak mau lagi terikat dengan pandangan, wawasan masyarakat karena mereka sudah mempunyai cara pandang sendiri yang mereka yakini.  Perkataan dan perbuatannya mereka siap mempertanggungjawabkan. Mengapa ?, karena mereka berpegang pada keyakinan yang mereka anggap benar dan baik untuk mereka bukan untuk orang lain.  Mereka adalah penganut demokrat sejati, lakon apapun yang diperankan kepada mereka, mereka akan sanggup melakukannya. Mereka juga sudah punya antisipasi dalam tindakan dan perbuatannya.  mau tahu antisipasi mereka, mudah saja,  yaitu “jangan hanya mengharapkan kesenangan tapi bersiaplah  untuk menerima  yang tidak menyenangkan”. Wajarlah kemudian mereka muncul dengan sosok yang berbeda, dan tidak menghiraukan lagi pandangan masyarakat terhadap mereka.

Kenapa Gusdur kontroversial ?, kenapa Ahmad Dhani kontroversial , maaf ya Gusdur dan keluarganya (semoga dalam kebaikan dunia dan akhirat),  untuk mas Ahmad Dhani dijadikan contoh,maaf ya  biar ga ada senggolan nantinya, tulisan ini juga hanya pengamatan,  benar atau salah mereka saja yang tahu. Kenapa tidak memasukkan  hanya  mereka dan Allah saja yang tahu, tidak perlu saya jawab karena yang bersangkutan juga kalau terbaca , mereka akan maklum dan tersenyum.
Perbuatan  dan tingkah laku spritualis,  yang  telah mempunyai keyakinan  yang dalam tidak akan mudah diterjang badai atau masalah apapun. Dijauhkan, diasingkan, diblokade, di embargo, diisolasi, dicemoohkan tidak akan menggoyahkan tingkah laku dan perbuatan mereka.  Mereka jalan terus walau selalu mendapat tantangan, hambatan, gangguan, ancaman, yang pada akhirnya masyarakat penilainya juga akan terbagi dua, yaitu suka dan tidak suka.
Contoh lain yang tidak kalah hangat beritanya adalah ketika Aa Gim melaksanakan pernikahannya yang kedua, muncul reaksi masyarakat yang pro dan kontra, apalagi wanitanya… wah luar biasa tantangannya. Dengan berbagai alasan mereka kemukakan dan sampaikan bahkan sampai pada tindakan pengasingan, bagi yang kontra. Bagaimana Aa Gim menyikapinya, beliau tetap jalan  dengan segala resiko yang harus dihadapi. Orang lain banyak menyayangkan dengan tindakan  ini, karena kalau dihitung dengan matematika manusia,  banyak sekali kerugiannya, apakah Aa Gim tidak menghitungnya, beliau juga menghitungnya tapi alat perhitungannya berbeda dengan orang banyak, yaitu memakai matematika Allah. hehehehehe….. apa itu matematika Allah, silahkan cari sendiri… saya ada terbaca “Allah tidak pandai  matematika”. Silahkan dicari di internet! agar paham dulu,baru komen atau nilai.
Ternyata tindakan spritualis antagonis berangkat dari sebuah keyakinan, sedangkan kita tindakannya banyak berangkat dari perhitungan matematika (matematika manusia), logika, ekonomi yang masih memperhitungkan untung dan rugi.

Terima kasih.
Wassalam

Minggu, 03 April 2011

Pengasingan Yang Menambah Keyakinan

Ketika rasulullah dan sahabat beliau menyiarkan islam pada masa  awal perkembangannya, sangat mendapat tantangan sekali dari kaum Quraisy Mekah. Mereka tidak ingin islam berkembang dengan cepat dan mudah, salah cara untuk menghalanginya adalah dengan mengasingkan Nabi beserta kelompoknya. Pengasingan tersebut dituangkan dalam sebuah perjanjian yang isinya “apabila tulisan perjanjian itu hancur maka selesailah pengasingan itu”.  Perjanjian tersebut mereka letakkan di dalam ka’bah. Menurut logika tulisan itu tidak akan hancur hanya dalam tempo yang singkat, mungkin sampai puluhan tahun. Tapi ternyata kehendak Allah lain, antara 2-3 tahun  ternyata perjanjian itu telah rusak, maka bebaslah rasulullah dari pengasingan /blockade itu.
Pengasingan ini kalau diamati, ada rahasia yang ingin diajarkan Allah kepada rasulullah, menurut versi saya :

1. Allah melatih Rasulullah agar tidak bergantung kepada makhluk

Pengasingan atau pem-blokade-an ini menyangkut segala hal kehidupan seperti :
1. Menyebarkan islam tidak boleh keluar dari lingkungan pengasingan
2. Kelompok yang diasingkan dan kelompok yang mengasingkan tidak boleh berhubungan
3.  Suplai sembako juga tidak boleh
Melihat hal tersebut, pemikiran apa yang muncul pada diri kita, tentu saja kita akan menjawab. Akan terjadi kesepian, kesendirian, kegelisahan, kelaparan, kematian, dan berujung menyerahnya rasulullah kepada kelompok pengasing untuk tidak menyiarkan agama islam lagi.
Bukan rasulullah namanya kalau menyerah, walau hidup dalam keprihatinan, beliau tetap menjalaninya dan terus mengajarkan islam pada kelompoknya. Ternyata dalam keadaan terasing, terpaksa terasing, memunculkan harapan tidak lagi kepada makhluk, tetapi kepada Allah. Sehingga bulatlat keyakinan, bulatlah tawakkal, bulatlah pasrah beliau dan kelompoknya kepada Allah.
Pembelajarannya bagi kita adalah "saya ambil ari ajaran Syekh Abdul Qadir Al Jailani". dalam futuhul ghaib
Ajaran  Ketiga
Manakala seorang hamba diuji oleh Allah, maka mula-mula dia akan melepaskan dirinya dari ujian atau cobaan yang menyusahkan itu. Jika tidak berhasil, maka ia akan meminta pertolongan kepada orang lain seperti para raja, para penguasa, orang-orang dunia atau para hartawan. Jika ia sakit, maka ia akan meminta pertolongan kepada dokter atau dukun.  Jika hal inipun tidak berhasil, maka ia akan kembali menghadapkan wajahnya kepada Allah SWT, untuk memohon dan meratap kepada-Nya. Selagi ia masih dapat menolong dirinya, ia tidak akan minta pertolongan kepada orang lain. Dan selagi pertolongan lain masih ia dapatkan , maka ia tidak akan minta pertolongan kepada Allah.
Jika ia tidak mendapatkan pertolongan Allah, maka ia akan terus meratap, shalat, berdoa dan menyerahkan dirinya dengan sepenuh harapan dan kecemasan kepada Allah Ta’ala. Sekali-kali Allah tidak akan menerima ratapannya, sebelum ia memutuskan dirinya dari keduniaan. Setelah ia terlepas dari hal-hal keduniaan, maka akan tampaklah ketentuan dan keputusan Allah kepada orang itu dan lepaslah ia dari hal-hal keduniaan, selanjutnya hanya ruh sajalah yang tinggal padanya.
Dalam peringkat ini, yang tampak olehnya hanyalah kerja atau perbuatan Allah dan tertanamlah didalam hatinya kepercayaan yang sesungguhnya tentang Tauhid (ke-Esa-an Allah). Pada hakikatnya, tidak ada pelaku atau penggerak atau yang mendiamkan, kecuali Allah saja.  Tidak ada kebaikan dan tidak ada keburukan, tidak ada kerugian dan tidak ada keuntungan, tidak ada faedah dan tidak ada pula anugerah, tidak terbuka dan tidak pula tertutup, tidak mati dan tidak hidup, tidak kaya dan tidak pula papa, melainkan semuanya adalah di tangan Allah.
Hamba Allah itu tidak ubahnya seperti anak bayi yang berada di pangkuan ibunya atau seperti orang mati yang sedang dimandikan atau seperti bola dikaki pemain ; melambung ; bergulir keatas, ketepi dan ketengah, senantiasa berubah tempat kedudukan. Ia tidak mempunyai daya dan upaya. Maka hilanglah ia keluar dari dirinya dan masuk ke dalam perbuatan Allah semata-mata.
Hamba Allah semacam ini, hanya melihat Allah dan perbuatan-Nya. Yang didengar dan diketahuinya hanyalah Allah. Jika ia melihat sesuatu, maka yang dilihatnya itu adalah perbuatan Allah.  Jika ia mendengar atau mengetahui  sesuatu, maka yang didengar dan diketahuinya itu hanyalah firman Allah. Dan jika ia mengetahui sesuatu, maka ia mengetahuinya itu melalui pengetahuan Allah. Ia akan diberi anugerah  Allah.  Beruntunglah ia, karena dekat dengan Allah. Ia akan dihiasi dan dimuliakan. Ridhalah ia kepada Allah. Bertambah dekatlah ia kepada TUhannya. Bertambah cintalah ia kepada Allah. Bertambah khusu’lah ia mengingat Allah. Bersemayamlah ia di dalam Allah. Allah akan memimpinnya dan menghiasinya dengan kekayaan cahaya ilmu Allah. Maka terbukalah tabir yang menghalanginya dari rahasia-rahasia Allah  Yang Maha Agung. Ia hanya mendengar dan mengingat Allah Yang Maha Tinggi. Maka ia senantiasa bersyukur dan shalat dihadapan Allah SWT.

2. Melatih Ketajaman Mata Hati

Bunyi perjanjian tadi adalah "Apabila hancur suratnya, maka habislah pengasingan itu". Menurut Logika surat perjanjian itu diperkirakan baru akan hancur lebih kurang puluhan tahun, tapi ternyata baru memasuki tahun ketiga sudah hancur. Apa sebabnya ?
1.  Allah mengatakan siapa yan bertawakkal kepada-Ku maka akan kuberi jalan keluar yang tidak disangka- sangka. Allah memerintahkan   
     kepada binatang untuk menggerogoti perjanjian itu sehingga tidak bisa terbaca lagi.
2.  Allah membukakan mata hati rasulullah, kemudian memberitahukan kepada kaum Quraisy bahwa perjanjian itu sudah hancur, dan  
     ketika dibuka ternyata betul "tidak bisa dibaca lagi".

Inilah pembelajaran Allah kepada rasulullah dan pengikutnya menurut versi saya, melalui latihan langsung sehingga menambah keyakinan beliau dan pengikutnya untuk berjuang terus membesarkan agama islam. Semoga kita selalu mengikuti jejek langkah beliau. Amin Ya Rabbal Alamin,  Terima kasih  Wahai Rasulullah 

Maaf data yang berhubungan dengan berapa tahun hancurnya perjanjian itu ditulis hanya mengikuti rasa ingat saja, kalau ada yang menguatkan/membetulkan kami ucapkan terima kasih.

Sabtu, 02 April 2011

Pemberontakan, Kebebasan, dan Kejeniusan

Orang yang berjalan dalam dunia spiritual adalah orang yang berjalan menuju kemerdekaan atau kebebasan !
Ada dua alasan yang ingin saya kedepankan dalam penulisan ini yaitu :
1.       Keinginan untuk membuktikan tanpa menggunakan referensi,  hanya mengikuti rasa tetapi tulisan ini bisa terselesaikan walau dalam kualitas  yang sangat sederhana.
Ada sebuah tantangan yang ingin saya latih dan jalani serta buktikan “kalau mengikuti rasa maka inspirasi akan datang kepada kita mengalir dengan sendirinya”.   Hal ini memang tidak sejalan dengan aturan penulisan, tapi karena tulisan ini adalah forum bebas yang tidak terikat,  hanya untuk belajar  dan melatih menulis maka aturan-aturan itu saya abaikan. Kalau nantinya tulisan ini juga sejalan dengan aturan penulisan yang umum, ini juga sebagai salah satu  pembuktian  bagaimana “multi fungsinya”  rasa. Saya  punya  rasa “inspirasi/pemiran”  berasal dari rasa  yaitu rasa yang halus yang kemudian disalurkan melalui otak sehingga terbitlah pemikiran .
Hal ini juga untuk membuktikan aturan yang  umum kalau kita berbicara dimulai dengan kalimat “menurut perasaan saya”,  sering dianggap salah karena katanya tidak memakai otak/pemikiran!  Yang betul menurut  aturan umum adalah “menurut pemikiran saya”. Sementara saya punya rasa “pemikiran itu muncul  dimulai dari rasa”, jadi saya sering mengucapkan “menurut perasaan saya”, tapi  mengucapkan "menurut pemikiran saya", juga betul asal dia tahu rasa itu lebih luas dari pemikiran,  hehehehe…..
Ini juga untuk membuktikan, bila kita berjalan dalam dunia spiritual (rasa yang halus),  kita juga punya pemikiran  yang bebas, tidak mau terikat, bahkan menjadi sebuah inspirasi dalam penulisan maupun tindakan keseharian sehingga menjadi betul-betul “merdeka”, tidak mau terjajah,  hehehe…. maaf ya. 
Sepertinya juga orang-orang yang berjalan di dunia spiritual punya jiwa pemberontakan dengan aturan-aturan yang ada,  bebas dengan rasanya, bebas dengan inspirasinya  (hehehehe……., perlu pembuktian lagi sebagai bahan penulisan,  dengan tema “orang yang berjalan dalam dunia spiritual punya jiwa pemberontak”,  saya tantang, siapa yang mau nulis menurut versi anda, karena ini adalah arena kebebasan).
Pada waktu saya menulis, juga  ingin melihat jalannya inspirasi hasil tulisan, ternyata inspirasi yang akan ditulis terhenti, apa sebabnya, nih jadi masukan bagi kita semua. Pada waktu nulis, jangan dibaca dulu hasil tulisannya, masalah kalimat atau kata nanti bisa diperbaiki kemudian. 
Berhubung waktu hampir maghrib maka tulisan ini saya cukupkan dulu, mudahan ada lagi inspirasinya untuk menjawab tantangan diatas, dadahhhhhhhhh…………….
Sekarang kita lanjutkan,  saya teringat  dengan kalimat diatas tadi “orang-orang yang berjalan dalam dunia spiritual punya jiwa pemberontak”,. Ternyata jawabannya adalah dengan hanya mempermainkan kata “ kebebasan dan pemberontak”.  Pada tema diatas sudah disebutkan “orang yang berjalan dalam dunia spiritual  adalah orang yang berjalan menuju kemerdekaan/kebebasan”. Setiap orang yang ingin bebas dari kondisi pada saat itu berarti dia menjadi pemberontak atau melawan. Sebaliknya orang yang memberontak adalah orang yang ingin mencari kebebasan terhadap kondisi saat itu. Hehehehe betapa mudahnya jawabannya hanya dengan membolak-balikan kalimatnya saja.  
Nah mungkin pembaca ada yang menafsirkan  dari sisi negatif kalimat tersebut “jadi pemberontak”.  Jangan lupa ada satu hal menurut saya  sisi positif dari kalimat tersebut, apakah dia?, yaitu dibalik adanya pemberontakan atau kebebasan disana akan mendatangkan kreativitas yang tinggi bahkan kejeniusan seseorang. Jangan lupa dengan perjalanan sejarah, seperti filosof-filosof dari Yunani dari polis Athena atau dunia islam, kekhalifahan Barat (Cordoba) dan kekhalifahan Timur (Baghdad). Atau yang paling kita kenal dan ketahui adalah ketika Nabi Muhammad SAW menyiarkan dan mengembangkan islam  ternyata bisa kita katakan  sebagai  pemberontak, pemberontakan terhadap zaman jahiliah, benar ngga. Bahkan akhirnya Nabi Muhammad dikatakan sebagai seorang jenius,  penerang, pelita, cerdas, dan rahmatan lila’lamin. Luar biasa………..
2.       Ingin menjawab dan membuktikan kebenaran tema diatas dari sisi spritual.
Menurut saya pengertian dari spiritual adalah yang berkaitan dengan  kerohanian, kejiwaan, kebatinan, hati nurani, mata hati. Berarti urusan yang berkaitan dengan yang tidak Nampak pada diri manusia tapi dapat dirasakan bahkan tergambarkan pada prilaku manusia. Ada dalil yang berbunyi “apa yang ada dalam hati manusia tergambar pada prilakunya”. Jadi kita melihat pada prilakunya bukan pada gambaran fisiknya, tapi yang dilakukan oleh fisiknya. Maksudnya, sudah bebaskah manusia itu dari ikatan fisiknya, walaupun jiwanya berada di dalam fisiknya ?
Istirahat dulu ah, inspirasinya belum muncul.
Lanjut lagi!!!!!!!!!!!!!!!!!
Manusia diciptakan Allah,   menurut orang-orang yang tahu ada yang  yang dinamaka Jiwa. Apakah yang dimaksud dengan jiwa.  Jiwa menurut yang saya dengar adalah produk dari hati dan pikiran yang  mempunyai sifat ingin selalu meraih dan mendapatkan kemenangan, keuntungan, kesenangan, kenikmatan, kelebihan, dipuji, disanjung, dihargai, dihormati, dari manusia.  Orang yang terikat dengan jiwanya adalah orang  mengikatkan dirinya dengan kesenangan dunia. Mereka mengira kesenangan dunia inilah yang membawa kebahagiaan , kedamaian , ketenangan,  karena itu mereka berusaha untuk mencapai . Tapi setelah dipenuhi keinginan jiwa itu, terbit lagi keinginan-keinginan lain yang bersifat dunia, begitulah manusia tidak pernah merasa puas.
Tapi perlu dicatat ada orang yang prilakunya selalu berhubungan dengan dunia, tapi hatinya tidak terikat pada dunia malah merupakan bagian dari pengabdian dia kepada Allah. Orang  ini punya tugas untuk memakmurkan dunia ini seperti yang saya sebutkan dalam catatan sebelumnya  dia berkedudukan sebagai “abdi lalu mengabdi”, khalifah Allah dipermukaan bumi. Badan berprilaku dunia tapi hati tertuju kepada Allah, seperti kata ustaz Yusdeka Putra dia berprofesi sebagai ekonom, sebagai teknisi, sebagai peneliti dll.
Salah satu dalil dalam spiritual islam adalah “Tidak kujadikan jin dan manusia itu kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”.  Disinilah letak permasalahan manusia itu, prilakunya apakah mengabdi pada Allah, atau mengabdi pada Tuhan-Tuhan selain Allah. Apabila dia mengabdikan  pada Tuhan-Tuhan selain Allah, maka dia  mengikatkan dirinya disana atau pada berhala-berhala,  berarti tujuannya duniawi., yang  akan mendatangkan kesusahan bagi dirinya. Manusia yang berada dalam kesusahan adalah manusia yang tidak bebas, tidak merdeka, alias terikat.  
Saya teringat dengan perkataan K.H. Zaini Ghani Rahimahullah dari Sekumpul Martapura “Kesusahan itu bukannya tidak ada pada manusia, tapi tidak berbekas pada dirinya”. Kenapa ? karena setiap orang yang mengabdi pada Allah maka kesusahan itu tidak akan pernah masuk pada dirinya, hatinya diliputi oleh Allah. Bagaimana mau masuk, tidak ada ruang dan tempat yang kosong lagi di dalam hati selain Allah.
Allah juga berfirman : “Wahai bumi, barang siapa menghambakan dirinya kepada-Ku, maka berkhidmatlah engkau kepadanya.Dan barang siapa menghambakan dirinya kepadmu,maka buatlah ia susah”. Demikianlah firman-firman Tuhan di dalam kitab-Nya.
Sudah tahu kalau me-Tuhan-kan dunia akan mendatangkan kesusahan  tapi manusia tetap mau terikat  dengan kesusahan tersebut, apa sebabnya ?.
Seperti yang diutarakan tadi, manusia diciptakan oleh Allah  ada jiwa, jiwa inilah yang menerbitkan keinginan-keinginan dunia. Tinggal kita saja lagi, mau bebas, merdeka atau terikat! ingin bebas jadilah hamba Allah, ingin terikat jadilah hamba dunia.
 Mari Kita Proklamasikan diri kita !

Jumat, 01 April 2011

Keterasingan

Keterasingan berasal dari kata terasing,  asing berarti sendiri,  sehingga tersisihkan dari pergaulan, terpisahkan dari yang lain, atau terpencil. Jadi kata terasing berarti hal-hal yang berkenaan dengan tersisihkan dari pegaulan, terpencil atau terpisah dari yang lain. Keterasingan adalah bagian hidup manusia,  sebentar atau lama, orang pernah mengalami nya.
Seorang anak yang kira-kira berumur sepuluh tahun ketika pulang ke rumah sehabis bermain menangis-nangis. Ketika ditanya kenapa menangis, dia tidak langsung menjawab, karena ketika dia mau  berbicara   malah yang  terdengar hanya suara tangisnya lagi. Setelah tangisnya reda baru anak itu bisa bicara dan menceritakan,  teman-temannya dalam  tidak mau menemaninya bermain bahkan mengasingkannya.
Ketika rasulullah dan sahabat beliau menyiarkan islam pada masa  awal perkembangan  juga diasingkan oleh kaum Quraisy dengan maksud  agar islam tidak berkembang. Bahkan dengan sebuah perjanjian yang isinya “apabila tulisan perjanjian itu hancur maka selesailah pengasingan itu” yang mereka letakkan di dalam ka’bah. Menurut logika tulisan itu tidak akan hancur hanya dalam tempo yang singkat, mungkin sampai puluhan tahun. Tapi ternyata kehendak Allah lain, antara 2-3 tahun  ternyata perjanjian itu telah rusak, maka bebaslah rasulullah dari pengasingan /blockade itu (disini ada rahasia yang ingin diajarkan Allah kepada rasulullah, mudah-mudahan nanti bisa dituliskan).    Ini juga dinamakan keterasingan atau diasingkan, walaupun dengan model yang lain.
Kadang-kadang yang sudah dewasa juga sering merasakan keterasingan atau diasingkan oleh kawan-kawan kita . Ada dengan alasan dia sering menyakiti hati orang, ada dengan alasan tidak sependapat, ada dengan alasan persaingan, ada dengan alasan tidak satu level, dan alasan-alasan lainnya.
Bahkan kita sendiri  sering merasakan, walau kawan-kawan,  baik dari segi prilaku ataupun kata-kata tidak pernah mengasingkan  kita tapi kita merasa terasing.  Berkumpul dengan orang banyak, berpesta, bermain-main, waktu bekerja tetapi terasa ada keterasingan.
Kalau kita tanyakan lebih jauh, apa yang menyebabkan munculnya rasa keterasingan ini ?  Setelah  ditelusuri lebih jauh rasa keterasingan itu ternyata disebabkan oleh adanya sesuatu dimana kita tidak bisa menerima kondisi itu atau belum tercapai  keinginan sehingga mendatangkan kekecewaan.  Pelampiasan dari kekecewaan ini bermacam-macam, ada yang marah, ada yang menangis, ada yang dendam, ada yang benci, ada yang menjauhi, ada yang melawan, ada yang minta bantuan. Itulah cermin keterasingan yang diikuti munculnya kesepian, kekecewaan yang diakibat oleh tidak terima kondisi saat itu atau keinginan yang tidak tercapai.
Kekecewaan dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti ditimbulkan  karena merasa dirinya dirugikan, lahir maupun batin. Hal ini adalah lumrah bagi manusia karena manusia mempunyai ego/aku. Si aku,  seringkali juga meluas sifatnya menjadi si kami, keluargaku, golonganku, bangsaku, partaiku, sahabatku.Nampak sekali pada kehidupan kita di Indonesia pada saat ini baik bidang sosial, agama, ekonoi, politik dan sebagainya  yang merupakan cermin keterasingan, kekecewaan yang melahirkan kerusuhan. Semuanya itu disebabkan oleh si ego yang selalu ingin senang, oleh karena itu kalau dia tidak dibikin senang, dan bahagia  kecewalah dia.
Sekarang kita coba untuk mengajukan pertanyaan lagi, apakah keterasingan, yang mendatangkan kekecewaan itu bisa kita atasi ?. Ada sebuah ungkapan “ramai dalam kesendirian dan sendiri dalam keramaian”.  Kalimat ini berarti mempunyai makna, sendiri atau dengan orang tetap dalam keadaan ramai, tidak sunyi, tidak sepi, tidak kecewa, bahkan bisa sebaliknya yaitu ramai, gembira,  damai, bahagia, tenang walaupun diasingkan atau mengasingkan diri.
Memang demikianlah keadaan hidup kita manusia ini. Kesenangan, keindahan dan kebaha­giaan itu sebenarnya SUDAH ADA di manapun dan kapanpun. Akan tetapi kesenangan, keindahan itu tidak nampak dan kebahagiaan itu tidak terasa oleh kita apabila batin kita penuh dengan masalah-masalah kehidupan, penuh dengan pertentangan, kekhawatiran, ke­putusasaan, kemarahan, kebencian, yang kesemuanya itu mendatangkan duka atau kecewa. Je­laslah bahwa kesenangan,keindahan, ketenangan dan kebahagiaan itu tidak dapat dicari DILUAR DIRI KITA, karena sumber dari segalanya berada di dalam diri kita sendiri. Kalau batin kita sudah bebas dari segala pam­rih, bebas dari segala macam keinginan untuk memperoleh hal-hal yang tidak ada. Sering sekali kita mencari yang tidak ada, contoh, ketika perut kita lapar kemudian membuka lemari, terlihat jenis makanan yang akan kita makan, hati kemudian bicara makanan ini terus yang disajikan terasalah sudah kekecewaan, kalau kita makan, makanpun  menjadi tidak nikmat. Apabila kita menikmati yang ada, ma­ka akan nampaklah dan terasalah segala kenikmatan, ketenangan, kesenangan,  keindahan yang terbentang di hadapan kita, di ma­napun dan bilamanapun! Hal-hal seperti ini tidak mungkin dapat dimengerti  kalau hanya dibicarakan sebagai teori hampa belaka, melainkan harus dihayati di dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri.
Karena kita  sebagai manusia, maka hal yang lumrah juga apabila kita merasa kecewa,  lalu bagaimana cara mengatasi kekecewaan, padahal tidak bisa kita tolak. Jalan keluarnya hendaklah kamu jangan masuk pada lingkaran kekecewaan itu, keluarlah,  bagaimana cara keluarnya ?. 
 Melakukan tindakan apa pun juga untuk melenyapkan kekecewaan tidak akan berhasil membebaskan diri daripada kekecewaan. Kekecewaan tidak dapat dile­nyapkan oleh daya upaya. Kekecewaan adalah si aku itu sendiri, satu di antara sifat si aku yang selalu ingin senang, maka kalau kesenangannya terganggu, tentu kecewa. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah mengenal aku, mengenal  kekecewaan, mengerti kekecewaan  dan hal ini hanya dapat terjadi apabila kita mau menghadapi kekecewaan  tanpa ingin meng­ubah, tanpa ingin menekan atau me­lenyapkan! Kalau kekecewaan  datang,  kalau kita merasa tidak senang lalu kecewa, kita menghadapi kekecewaan itu seperti kenyataannya, kita  memandang dan meng­amati saja penuh perhatian, penuh ke­waspadaan tanpa pamrih apa-apa, tanpa ingin menguasai menekan atau melenyap­kan. Kalau kita memandang dan meng­amati dengan penuh perhatian tanpa perasaan atau keinginan apa-apa, berarti kita sadar waspada, maka semua akan nampak terang dan kekecewaan  akan mus­nah tanpa kita hilangkan atau tekan.  Artinya kita hanya mengawasi, mengamati  keadaan diri kita, kita sadar kita sedang kecewa. Karena seorang pengawas  atau pengamat adalah seorang yang bisa objektif tanpa harus masuk pada kekecewaan itu. Kalau tidak masuk berarti tidak terikat, kalau tidak terikat berarti bebas, kalau bebas berarti merdeka. Merdeka dari keterasingan, merdeka dari kekecewaan  lalu katakanlah “Aku Merdeka”.
Karena itu belajar dan berlatihlah dalam kehidupan keseharian kita supaya jangan hanya sampai pada pegetahuan tapi sampai pada perasaan tentunya perasaan yang halus.