Laman

Kamis, 28 April 2011

Subyektivitas dan Obyektivitas (1)

Setiap hari dan setiap saat kita akan bertemu dan berhadapan dengan keduanya, yaitu subyektivitas dan Obyektivitas. Apakah itu subyektivitas, adalah adanya rasa keakuan kita dalam melihat,memandang, melakukan sesuatu, sehingga kadang-kadang obyektivitas dilupakan. Lalu apa pula yang dinamakan obyektivitas, adalah melihat,memandang, dan melakukan sesuatu dengan apa adanya, jujur, sesuai fakta.
Yang jadi pertanyaannya adalah apakah bisa ? dengan adanya subyektivitas itu kita menjadi obyektif,  apakah dengan masuknya keakuan,  kita bisa jujur, adil, dan netral. Sebuah pertanyaan yang sulit sekali untuk diuraikan  karena  harus melihat dulu apa standar dan ukurannya, mari kita coba untuk melihat ukurannya.
  1. Subyektif yang obyektif
Dalam penulisan, perkataan, pembicaraan  apapun kita akan berhadapan dengan istilah ini “subyektif yang obyektif”.
Dalam pernyataan ini saja sudah mengandung sebuah kepastian tidak bisa obyektif seratus persen, obyektif tapi tidak obyektif, jujur tapi tidak jujur, karena adanya subyektivitas. Berarti dalam kehidupan sehari-hari kita sudah tidak bisa menghindari subyektivitas, tidak bisa jujur, dan tidak obyektif. Apabila demikian maka kita bisa dikatakan munafik, pengkhinat, pendusta, ingkar.
Subyektif adalah sisi lain dari kita. Menulis, berpendapat, berbicara adalah sisi subyektif kita. Apalagi setelah ada sanggahan, tanggapan, pertanyaan, kritikan, masukan dari orang lain, maka subyektivitas semakin kuat. Kenapa menjadi semakin kuat, karena kita berusaha meyakinkan, membenarkan yang telah kita kemukakan. Emosi semakin berlebihan, perasaan ingin menang juga semakin kuat. Bahkan subyektivitas itu semakin tidak terkontrol lagi, dan merasa yang punya kitalah yang benar. Akhirnya terperangkap pada subyektivitas, tidak bisa lebih banyak obyektif.
Betapa beratnya kehidupan ini, betapa ruginya manusia, betapa kasihannya manusia, untuk menjadi benar, baik, jujur, adil, dan netral bahkan berkarya untuk memakmurkan bumi Allah ini sekan-akan tidak ada peluang untuk obyektif. Bagi mereka yang biasanya mengambil jalan pintas, daripada tidak ada peluang mending basah sekalian. Hehehehehe….akhirnya mereka berlomba-lomba untuk mengambil kedudukan, jabatan, posisi yang basah-basah sehingga betul-betul basah. Tapi bagi mereka yang mau berpikir, terus mencari jalan dengan menggunakan daya dan kemampuan sampai mereka temukan jalan keluarnya. Karena bagaimanapun juga alam diciptakan oleh Allah tidak hanya satu sisi saja, pasti ada sisi yang lain yang merupakan lawannya. Begitu rumitnya kehidupan manusia, ingin baik saja susah, oh… ternyata ini adalah sebuah tantangan yang diberikan oleh Allah untuk manusia apabila ingin punya derajat yang sangat baik, baik di dunia maupun akhirat. Tantangan tersebut adalah mampukah kita menetralisir nafsu yang diciptakan dengan menggunakan akal kita.
Ternyata letak subyektivitas kita ada pada nafsu, ada pada ego, ada pada keinginan, atau keakuan kita.
Jika kita mengacu pada standar/ukuran “subyektif yang obyektif”. Ternyata dengan adanya subyektif yang obyektif juga member jalan bagi kita untuk masih obyektif. Caranya adalah , fakta-fakta yang ada, yang diangkat menjadi bahan penulisan, perdebatan, pembicaraan. Kita tafsirkan secara keseluruhan, kita bahas melalui berbagai sudut pandang dan keadaan, kita ulas dengan pengetahuan yang dimiliki, tanpa adaya keinginan untuk memihak pada sisi mana yang kita bahas, maka kita sudah obyektif. Tapi apabila kita berusaha untuk memihak pada salah satu sisi saja, maka kita sudah masuk pada subyektivitas.
Apabila nantinya ada sanggahan, kritikan, kontra, kita tanggapi, kita jawab hanya dalam batas alasan-alasan dari fakta yang ada tanpa adanya keinginan untuk dibenarkan, diakui, disetujui, maka kita sudah berjalan pada obyektivitas. Ungkapkan fakta itu apa adanya, silahkan tinjau dari berbagai sudut kepentingan tapi kita tidak perlu ikut dalam berbagai kepentingan itu, maka kita sudah obyektif.
Apabila tekanan subyektif semakin kuat, kalau memang ada kesempatan untuk menenangkannya, istirahatlah, karena hal ini juga akan mengurangi subyektivitas. Apabila sudah tenang silahkan sampaikan lagi tanggapannya, biasanya hasilnya akan memuaskan banyak pihak dan tentunya saja diri sendiri. Berpeganglah pada fakta, tapi janganlah berpegang pada keinginan untuk membenarkan atau dibenarkan pada fakta itu. Karena manusia diberi pengalaman dan sudut pandang yang berbeda-beda,tentu saja banyak penafsiran. Silahkan mereka menafsirkan dengan pengalaman dan kondisi mereka masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar