Laman

Kamis, 17 Maret 2011

Cinta

Prahara  Cinta
“Cinta antara pria dan wanita bukan­lah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara yang timbul dari kecocokan sele­ra, baik mengenai ketampanan maupun mengenai watak sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu berahi. Asmara ini penuh dengan keinginan me­nguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan dimanja, dipuja dan dijunjung tinggi, disamping keinginan me­nikmati kepuasan dari hubungan badan yang didorong nafsu berahi. Semua ini bersumber kepada Si Aku yang selalu menujukan segala hal demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biarpun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Karena itulah, asmara antara pria dan wanita ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan duka, kalau di­khianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggapan menimbulkan cemburu. Pen­deknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara pria dan wanita yang kauagung-agungkan itu!”

Masih penasaran. “Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwa­tak buruk, seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi!
Bagaimana cinta se­orang yang berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apapun juga, bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicinta!”  “Ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta! Memang kita percaya bah­wa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang kaucinta,  Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tidak membalas cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain? Bagaimana kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cinta­mu dan dengan mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau rela dan cintamu akan tetap?”

 “Kalau begitu, apakah tidak ada cinta suci di dunia ini ?

“Tidak ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasar­kan kepada kepentingan Si Aku masing-masing.”

“Ah, masa begitu, ? Bagai­mana dengan cinta seorang anak kepada ibunya?” . Bagaimana mungkin orang menyangsikan cinta kasih seorang anak terhadap ibunya?
“Itupun palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang ter­dekat dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya, disandarinya, sehingga dia ter­biasa oleh perlindungannya dan setelah Si Anak besar, teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang budi dan ingin membalas budi. Bukan cinta yang sejati, melainkan perasaan hutang budi belaka. Andaikata Si Anak sejak bayi diberikan kepada seorang wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya, tentu anak itu akan berhutang budi pula. Coba kalau seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah Si Anak akan tetap mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya? Lihat saja semua orang yang telah dewasa, setelah menikah, bukankah perasaannya lebih mende­kat kepada suami, isteri, dan anak-anak­nya?”

“Wah, Bagaimana kalau cinta kasih se­orang ibu kepada anaknya? Nah, berani­kah  menyangkalnya dan me­ngatakan bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?”
“Memang palsu selama Si Ibu meng­harapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri, marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak melupakannya dan tidak mem­balas budi kepadanya. Kalau benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena di mana ada cinta, di situ tidak mungkin ada keben­cian, kemarahan dan kedukaan.”

“Wah, kalau begitu , cinta bukan perasaan manusia bia­sa! Agaknya hanya cinta kasih manusia terhadap Tuhan saja yang suci!”.

“Sama sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Se­sungguhnya bukan cinta, melainkan pemu­jaan, dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itu pun palsu belaka, seperti jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, kare­nanya tidak akan mendatangkan kecewa, benci atau duka.”
Diambil dari cerita silat Kho Ping Ho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar