Laman

Senin, 21 Maret 2011

Belajar Dari Pengalaman


Birahi
Birahi adalah sebuah daya tarik, serangan emosi yang irrasional, dorongan nafsu-syahwat, bisikan setan atau mungkin merupakan gangguan mental. Emosi seperti ini tidak akan bertahan lama. Apabila telah terpenuhi dorongan nafsu tersebut, perlahan pesona itu akan pudar, mati dan hilang.
Kita lihat pula kalimat dbawah ini
Yang tidak saling merayu, bukan kekasih. Yang tidak saling memeluk, bukan kekasih. Yang tidak saling mencium, bukan kekasih. Yang tidak saling mencumbu, bukan  kekasih. Yang tidak saling birahi, bukan kekasih. Sepasang kekasih yang tidak saling merayu, tidak saling memeluk, tidak saling mencium, tidak saling mencumbu dan tidak saling birahi hanya ada dalam  mimpi siang bolong para perawan dan perjaka yang belum punya kekasih.
Apabila anda seorang lelaki, namun tidak birahi kepada kekasihmu, maka putuskan dia, lalu carilah kekasih baru, seorang kekasih yang membuatmu birahi. Wanita yang tidak membuatmu birahi, tidak patut menjadi kekasihmu, apalagi istrimu. Apabila engkau tidak birahi padanya selama pacaran, maka engkau pun tidak akan birahi padanya ketika menjadi suaminya kelak.
Apabila anda seorang perempuan, namun tidak merasa aman dan nyaman ketika memeluk kekasihmu, tidak mabuk kepayang ketika kekasihmu mengecup bibirmu, tidak birahi ketika kekasihmu merengkuhmu dalam pelukan dan ciuman, tidak merasa diri sempurna ketika kekasihmu birahi padamu, maka itu pertanda engkau tidak mencintainya. Putuskan dia, lalu carilah kekasih baru, seorang kekasih yang membuatmu jatuh cinta.
Dari kalimat-kalimat tersebut  tergambarkan bagaimana seorang manusia yang sedang dilanda birahi, dan usaha-usaha untuk mencapai birahi sehingga dapat menyenangkan hatinya, walau kesenangan itu hanya sementara saja. Namun menurut saya birahi yang seperti itu dapat kita alihkan untuk birahi kepada Allah.
Apakah kita bisa atau mampu untuk birahi kepada Allah senyaman atau senikmat birahi kita kepada makhluk ?
Untuk mendapatkan birahi yang hakiki kepada Allah modalnya adalah Cinta atau Mahabbah (dalam bahasa Arabnya) .  Lalu apa yang dimaksud dengan Mahabbah atau Cinta itu. Pada dasarnya cinta dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1.      Kata "mahabbah" sebagaimana yang diriwayatkan Al-Hujwiri dalam kitab "Kasyful Mahjuub", berasal dari kata "habbah" yang berarti benih-benih/biji yang jatuh ke bumi di padang pasir. Mahabbah dikatakan berasal dari kata itu karena dia merupakan sumber kehidupan. Sebagaimana benih itu tersebar di gurun pasir, tersembunyi di dalam tanah, dihujani oleh terpaan angin, hujan dan sengatan matahari, disapu oleh cuaca panas dan dingin, benih-benih itu tidak rusak oleh perubahan musim, namun justru tumbuh berakar, berbunga dan berbuah. Demikian halnya cinta sejati, tak lapuk dengan sengatan mentari dan guyuran hujan, tak lekang oleh perubahan musim dan tak hancur berantakan oleh terpaan angin. Ada pula yang mengatakan "mahabbah" berasal dari kata "hubb" yang berarti penyangga (empat kaki-kaki kecil pada alas poci air), disebut demikian karena seorang pecinta, rela dengan suka hati melakukan apa saja untuk yang dicintainya.
Adapula yang mengatakan "mahabbah" berasal dari kata "haabb" yang berarti relung hati yang paling dalam. Dikatakan demikian, karena cinta tumbuh dari relung hati yang paling dalam (grows from the deepest side of heart). Tak mudah dilukiskan dalam kata-kata,tetapi tumbuh dalam perasaan hati setiap insan.   Apapun asal katanya, kita sepakat bahwa cinta adalah tali buhul yang mengikat kuat antara si pecinta dan yang dicintainya. Dia datang, tidak diketahui waktunya, dan akan pergi begitu saja kalau tidak dipelihara dengan baik.
Cinta yang pertama ini biasanya lebih banyak dilihat dari segi yang nampaknya saja. Kita jatuh cinta karena kelebihan yang dimiliki oleh pasangan kita seperi : kecantikannya/ketampanannya, kekayaannya,  kepintarannya, kharismatiknya, ataupun kelebihan-kelebihan lainnya.  Apabila kelebihan-kelebihan itu tidak ada lagi pada pasangan yang dicintai maka sedikit demi sedikit akan luntur atau pudar bahkan bisa hilang.
2.      Tingkatan yang kedua adalah "mawaddah",berasal dari kata "wuud" yang berarti al-hubb al-katsir (cinta yang banyak/mendalam). Pakar leksikografi al-Quran, Ar-Raghib Al-Isfahani mengatakan bahwa mahabbah adalah hanya terbatas yang tersembunyi dalam relung hati, sedangkan mawaddah adalah yang meninggalkan bekas nyata (atsar) dalam kehidupan.  Yaitu terjalinnya hubungan mesra (tahaabbu) antara suami dan isteri. Salah satu asma Allah "al-Waduud", karena nama itu merealisasikan cinta Tuhan pada segenap alam dalam pemeliharaanNya.
Cinta yang kedua ini sudah lebih baik, karena sudah tidak melihat pada kelebihan pasangannya saja, tetapi sudah menerima atau mau memaafkan kekurangan yang dimiliki oleh pasangan. Sehingga cintanyapun bisa bertahan lebih lama dan panjang. Dan cinta tingkatan yang kedua ini berlaku tidak hanya pada pasangannya saja tetapi juga  selain pasangannya. Seperti cinta orang tua kepada anaknya, walaupun anaknya berbuat, berkelakuan tidak menyenangkan bagi dirinya tetapi,  mau tidak mau harus tetap dimaafkan karena dia tetap statusnya sebagai anaknya. Perlu diingat bahwa maaf itu adalah bagian dari cinta, dimana seseorang rela berkorban untuk orang yang dicintainya walaupun sampai nama baik dirinya tercemar.
3.      Rahmah (kasih)   Kata "rahmah" berasal dari kata "rahm", yang berarti rasa kasih yang menuntut munculnya perbuatan baik terhadap yang dikasihi. Jadi rahmah adalah rasa kasih yang membuahkan perbuatan baik dari yang mengasihi kepada yang dikasihi, tanpa mengharap balasan.
Cinta yang ketiga ini adalah cinta murni ibarat emas kadarnya 24 karat, sehingga walaupun dikalungkan pada seekor anjing  (maaf bukan menyepelekan) tetapi tetap mempunyai kadar 24 karat, tidak terpengaruh  dari siapa oleh siapa dan untuk siapa. Hal ini disampaikan karena kalau kita beribadah khususnya ibadah hablumminannas sering melihat dari siapa, oleh siapa, dan untuk siapa.
Setelah kita mengetahui  arti dan rasa dari birahi yang ada pada diri kita,  dan juga mengerti arti birahi kepada Allah kita lebih mudah untuk mengamalkan sehngga mendatangkan rasa kenyaman, kedamaian, kenikmatan, dan ketenangan. Agar lebih  mudah untuk dimengerti  lagi maksudnya adalah segala gelora, semangat, gairah, nafsu dan birahi tadi yang kita ambil bukannya kata-katanya itu yang mendatangkan pemikiran negatif dalam agama , tapi yang kita ambil atau tarik pelajaran adalah rasa dari semangat yang besar, yang menggebu-gebu, dari keinginan kita lalu arahkan untuk sadar  kepada Allah. Juga semua itu juga sangat bergantung pada niat kita. Kalau niat kita birahi kepada makhluk, maka hasilnya juga birahi kepada makhluk. Tapi kalau niat kita birahi kepada Allah maka hasilnya juga akan birahi kepada Allah. Kalau kita sudah birahi kepada Allah, maka Allah akan memanggil kita (“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah pada Tuhan Mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam syurga-Ku”. QS. Al Fajr. 27-30). Namanya juga birahi, maka pasti Allah memanggil kita dengan mesra (datanglah), seakan-akan memanggil kekasihnya. Maka kita datang menghadap Allah dengan semangat yang tinggi karena dipanggil oleh kekasih, siapa yang tidak suka. Namun  kita harus bersungguh-sungguh dalam mencari atau mengamalkan. Sehingga sesuai dengan dalil yang berbunyi “siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya”.  

Kenapa hal ini saya tulis  maksudnya adalah agar lebih mudah mengetahui dan lebih mudah untuk mengamalkannya. Kenapa akan lebih mudah untuk mengetahui dan  lebih mudah  mengamalkan. Karena yang kita bicarakan, kita contohkan adalah pengetahuan dan pengalaman pada diri kita masing, yang setiap orang pernah merasakannya, dan pengalaman itu adalah guru yang paling berharga, seperti yang diungkapkan oleh peneliti  dibawah ini :
MODUS PENGALAMAN BELAJAR :
Kita belajar  akan  memperoleh ;

1.       10% dari apa yang kita baca,
2.       20% dari apa yang kita dengar,
3.       30% dari apa yang kita lihat,
4.       50% dari apa yang kita lihat dan dengar,
5.       70% dari apa yang kita katakan, dan
6.       90% dari apa yang kita katakan dan lakukan

(Sheal, Peter (1989) How to Develop and Present Staff Training Courses. London: Kogan Page Ltd.) 

Jadi , dengan belajar atau mengetahui yang ada pada diri tentang birahi/nafsu jasmani dan membelokkannya untuk birahi kepada Allah serta mengamalkannya maka kita akan memperoleh pengetahuan yang besar yaitu 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan  sehingga dalam beragama (Islam) kita akan mencapai keyakinan yang sempurna (kamalul yakin).

 Orang yang beragama dengan pencapaian keyakinan yang sempurna tidak akan mudah terombang ambing oleh badai kehidupan dunia yang  oleh sekarang  dinamakan globalisasi atau masalah-masalah yang lainnya. Dia akan tegar dalam menghadapinya dan selalu ada saja  jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapinya. Karena dalam anggapannya kehidupan ini adalah dua hal yang tidak bisa dihindarkan yaitu keadaan yang selalu berpasang-pasangan, ada langit-ada bumi, ada tinggi-ada rendah, ada senang-ada susah, dan pasangan-pasangan lainnya. Hadapi keadaan alam semesta ini bukannya dihindari atau ingin mencari yang enak, mudah, nyaman atau amannya saja.

Saya jadi teringat dengan kenyataan yang ada dalam alam semesta ini yang kemudian diangkat menjadi sebuah pembelajaran oleh kelompok sufi  “Jadilah kamu seperti ikan diair laut yang tidak pernah asin walau hidup dalam air laut”.

Apakah maksudnya ?, Ini adalah sebuah pembelajaran yang sangat baik dan benar kalau kita mau berfikir, dan mau tidak mau kita harus berfikir karena kita sudah diberi aqal oleh Allah SWT.
Dalam pembelajaran biologi Ikan laut tidak asin rasanya karena ginjalnya mampu mengeluarkan garam air laut yang masuk melalui insang, dikeluarkan dari badan lagi, sehingga kadar garam dalam tubuhnya senantiasa lebih rendah daripada kadar garam air laut sekelilingnya. Air laut yang normal kadar garamnya hanya sekitar 3% . Ini sebenarnya tidak begitu asin dibandingkan dengan ikan asin misalnya, yang kadar garamnya 12%, atau telur asin yang digarami dengan garam yang lebih pekat ~ 20%
Artinya ikan tersebut  mempunyai alat atau filter  yang bisa membuat dirinya tidak terpengaruh oleh keasinan air laut.
Sekarang kita lihat diri kita, Apakah juga mempunyai alat atau filter sehingga kita tidak akan terpengaruh dengan kondisi negatif dari globalisasi atau alam semesta ini. Tentu saja ada kalau kita berilmu, kalau kita mau mencarinya, kalau kita mau belajar. Karena manusia diciptakan oleh Allah dengan sangat sempurna melebihi binatang bahkan malaikat.

Maksudnya   adalah kita harus mencari ilmunya, setelah dapat kita lakukan, kemudian kita dapatkan atau kita temukan dan kita yakini, “inilah alat atau filter” yang diciptakan Allah untuk menghadapi badai/prahara dunia ini sehingga kita selamat dunia dan akhirat tanpa perlu melarikan diri. Allah juga membuat badai alam semesta ini manfaatnya juga bagi kita dengan kata lain kita belajar dari badai.

Terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar